CAHAYA DARI WARTAWAN BANGKOTAN


Kali ini kita akan mendapatkan pencerahan dari narasumber hebat yaitu Bapak Nur Aliem Halvaima, S.H., M.H. Beliau adalah seorang wartawan,  sekaligus penulis buku.

Agar sayang, kita berkenalan dulu. Beliau Anak Bugis-Makassar yang dilahirkan 10 Agustus 1960 ini namanya Nur Aliem Halvaima, yang terkenal dengan  pena dan media sosial adalah Nur Terbit. Anak ke-3 dari 7 bersaudara pasangan Haji Muhammad Bakri Puang Boko - Hajjah Sitti Maryam Puang Mene.

Tahun 2015 dia menyelesaikan pendidikan di Universitas Islam Jakarta, program S-2 ilmu hukum dengan tesis "Pola Pemberian Upah Untuk Kesejahteraan Wartawan Media Cetak di Provinsi DKI Jakarta". Sedang S-1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syari'ah dan Hukum. Sementara Sarjana Muda di IAIN Alauddin Makassar. 

Nur (atau cahaya) menjalani profesi wartawan daerah di Makassar sejak masih kuliah, berlanjut jadi koresponden Harian Terbit (Pos Kota Grup) di Sulawesi Selatan. Tahun 1984 hijrah ke Jakarta bergabung jadi reporter kemudian redaktur. Tahun 2014 saat koran tempatnya bekerja "dijual", Nur pensiun dini tapi tetap menulis dan jadi redaktur media online www.possore.com sampai saat ini.

Pengalaman jurnalis Nur sebagai pemegang kartu Wartawan Utama dari Dewan Pers - PWI Pusat ini, antara lain : Wartawan/Editor Surat Kabar Harian Terbit (Pos K hijiota Grup) 1980-2014. Pemred Vonis Tipikor versi  majalah dan online 2014-2017. Pemred Corong versi majalah dan online 2019-2020. Pemred Telescope versi majalah dan online 2020. Redaktur Eksekutif Possore.com 2015 s.d. Sekarang. Redaktur/Admin tamu sejumlah media online, majalah, tabloid 2014 s.d. sekarang.

Prestasi menulis antara lain : Dua kali berturut-turut Juara Lomba Menulis Artikel Bertema Pramuka antar wartawan dan Umum Tingkat Nasional 2011 dan 2013, yang digelar Kwarnas Pramuka. Juara Lomba Menulis Pengalaman Mudik Asyik Republika Online. Juara di beberapa lomba menulis blog antara lain: Online Shop Kudo, Lomba Menulis Puisi Spontan Pedas, Lomba Blog Teacher Writing Camp IGI Bekasi, Smartphone Oppo, Dompet Duafa, Asuiransi Raksa Online, Online Shop Shofie Martin, Restauran Bebek Kaleyo, BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir), Tokoh Populer, Suara Konsumen.

Di tengah kesibukannya itu, Nur sebagai blogger masih sempat menulis di blog pribadi www.nurterbit.com, Kompasiana, Kumparan, Viva, Blogdetik (alm), PepNews, Tokoh Populer, Suara Konsumen, Risalah Misteri, Terbitkan Buku Gratis, bahkan aktif membuat konten video di channelnya YouTube.com/nurterbit. Tahun 2019 Nur meraih Juara Utama Lomba Video YouTube Asuransi Mobil Raksa Online.

Berbekal pendidikan formal dan pengalamannya meliput berita hukum selama jadi wartawan, Nur juga sesekali bersidang mendampingi kliennya di pengadilan sebagai lawyer (pengacara). Buku "Wartawan Bangkotan" adalah karya kedua Nur mengenai dunia pers. Sebelumnya kumpulan tulisannya "Lika-Liku Kisah Wartawan" diterbitkan PWI Pusat memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 2020.

Kegiatan rutinnya menulis berita, peristiwa, laporan pandangan mata dari lapangan. Ataus istilah jurnalistiknya reportase. Secara tertulis atau (kadang) dilengkapi foto dari TKP (istilah kepolisian tempat kejadian perkara) ke kantor redaksi koran/media.

Kebetulan media Nur waktu itu (1980-2014) adalah media cetak (koran). Baik ketika masih wartawan daerah di Makassar, maupun setelah bergabung di Jakarta sebagai reporter di Harian Terbit (Pos Kota Grup)

Nah, ada perbedaan pola penulisan berita di koran/media dengan menulis bebas untuk artikel di media. Tentu beda lagi jika menulis untuk karangan ilmiah, skripsi, makalah, tesis atau disertasi. Di media, ada format atau standar baku, yakni berita tidak boleh (dilarang) memasukkan opini penulisnya atau wartawannya. Tapi si wartawan ingin menyampaikan pendapat, gagasan, pemikiran, boleh saja. Ada tempat khusus yakni opini, artikel, yang by name

Selain wartawan sebagai tugas utamanya, rubrik opini ini bisa diisi oleh orang luar. Maksudnya pembaca, sesuai kehalian dan bidang yang dikuasainya. Untuk tulisan ini, ada kompensasi dari redaksi media tersebut berupa honorarium yang besarnya tergantung kemampuan media yang bersangkutan.

Mereka yang ahli/pakar satu bidang ilmu, bahkan menjadi penulis tetap, yang tentu honornya juga lumayan. Saat ini media besar seperti Kompas, Majalah Tempo, Republika, Media Indonesia dan beberapa majalah menerapkan standar honor.

Sayangnya dengan datangnya era digital ini, media cetak dan sebangsanya, banyak yang tiarap lalu tidur utk selamanya. Kini era berganti dengan online.Satu sisi mengurangi pasar media cetak, sisi lain membuka peluang baru sebagai netizen, atau citizen jurnalism. Media Informasi pun makin banyak pilihan

Dulu harus ke lapak K5, lampu merah, pengecer, agen utk dapat membeli koran/majalah, sekarang cukup dgn gadget atau HP, dunia sudah terbentang luas.

Itu sekadar perkenalan sekitar dunia yang Nur geluti selama ini sejak 1980-an

Menulis, sudah mulai Nur coba-coba waktu masih SD. Kebetulan ayahnya kerja di P dan K (kini Kemendikbud) Kab Maros Sulsel. Dulu ada namanya buku inpres, berbagai jenis buku bacaan, pelajaran, dongeng, cerita petualangan. Termasuk majalah anak-anak Si Kuncung. Mungkin ada yg masih ingat, tapi Kuncung sudah "wafat" diteruskan majalah Bobo dan rekan-rekannya

Ayahnya bertanggungjawab membagikan buku-buku itu ke sekolah-sekolah, terutama Dikdas, pendidikan dasar di daerah tersebut.

Dari sinilah Nur terbiasa membaca buku-buku. Di mana kemudian sangat berguna  pada kehidupan selanjutnya saat mulai belajar menulis.

Jadi benar kata orang,  untuk mahir menulis harus banyak membaca. Ya minimal membaca ulang tulisan sendiri...(di mana kekurangannya, ejaannya dll.)

Di bangku SD itu pula, Nur kecil mulai berani mengirim tulisan ke media, tepatnya di koran daerah tempat saya tinggal di Makassar. Ada koran Pedoman Rakyat (PR), koran tertua di Makassar, bahkan se-Indonesia Timur.Tulisannya tentu yg ringan sesuai usia pelajar SD. Puisi Anak, Cerita Anak, bahkan ngirim gambar di rubrik Anak. Tentu bangga ketika pertama kali tulisan kita dimuat di koran. Yang lebih bangga lagi dapat honor, via wesel pos.

Setelah tulisan sudah berani dikirim ke koran dan dimuat, mulai tambah berani ikut lomba menulis. Beberapa kali Nur mewakili sekolah untuk lomba menulis antarsekolah dan Alhamdulillah...menanng!

Nur kurang tahu, kenapa lomba menulis antarmurid, sekolah tak da lagi ya sekarang? Yang ada malah lomba menulis.blog bagi guru ya? Salut untuk KSG. Ia kebetulan sekolah di PGA (Pendidikan Guru Agama)

Ada pengalaman menarik bagi Nur Terbit yaitu  Untuk ujian akhir, semua siswa harus praktik di SD yang kebagian praktik mengajar di SD Muhammadiyah Maros Sulsel. Ia dapat kelas 6 yang muridnya badan besar, sementara badan Nur kecil. Pengalaman berkesan mengajar kelas 6 SD yg muridnya seperti GIANT (teman Doraemon - Nabita itu), Pengalaman itu ia tulis dan kirim ke lomba mengarang pengalaman ke majalah remaja HAI (Kompas grup). Alhamdulillah, walau hanya juara harapan 1 (tahun 1980-an) tapi bangganya luar biasa

Dapat hadiah kamus Indonesia-Inggris M Sadeli dan kaos HAI. Juaranya Leila S Chodori, GolaGong, AGS Arya Dwipayana, semua penulis.cerpen dan novel terkenal di zamannya

Menjadi wartawan resmi saat sudah kuliah di IAIN Makassar. Selain jadi pengelola koran kampus

Kengiatan itu terus berlanjut ke Jakarta bergabung di Harian Terbit (grup Poskota) tahun 1984. Mulai pula belajar menulis opini, tulisan feature, laporan bersambung, sesekali cerpen percintaan atau tema keluarga. Tahun 2014 saat pensiun dini, mulai fokus.menulis blog, Kompasiana, mengenal medsos (FB, Twitter, Instagram dan YouTube). Ikut berbagai lomba nulis, beberapa di antaranya menang. Hadiah laptop, kamera, hamdphonez dan yang sering flashdisk, atau voucher belanja. Dari sekian banyak tulisan yang tercecer di mana-mana itulah setelah dikumpulkan akhirnya jadi buku. Yang terbaru diterbitkan YPTD-nya Pak Thamrin Dahlan adalah "Wartawan Bangkotan" yang diantar TIKI dari percetakan ke rumah. Sebelumnya ada "Lika-Liku Kisah Wartawan" terbitan PWI Pusat 2020

Akan menyusul buku bacaan ringan : MATI KETAWA ALA NETIZEN

Kali ini Aam Sang Moderator gatal untuk nimbrung bertanya, dan memang tidak ada larangan untuk bertanya. "Kadang salah satu yang menjadi masalah penulis pemula dan kurangnya minat baca di Indonesia. Bagaimana pendapat Bapak untuk meningkatkan daya baca masyarakat? Sebentar lagi kita akan masuk sesi tanya jawab. Mohon izin bertanya dahulu sebelum kita buka sesi tanya jawab.

Nur Terbit menulis, "Baik. Menurut saya, dengan banyak membaca :

1. Memperkaya perbendaharaan kata.

2. Belajar EYD

3. Menambah wawasan, terutama bgmn format menulis: belajar nyusun pragfraf, huruf sambung dll

Yang lebih terasa lagi, dengan banyak membaca tulisan orang lain,.kita belajar style (gaya) penulisan orang. Kita bisa.tiru.utk kemudian akan muncul Gaya khas kita sendiri

 Yang tidak boleh itu meniru 100 persen tulisan orang, ibaratnya sampai tirik komanya. Ini sih copy paste ya alias jiplak bin plagiat

 Nah, dari pengalaman Nur selama ini, ia temukan "kunci" yang mungkin bisa jadi ini hanya duplikat dari penulis sebelumnya.

Nur membagi resep: 1. Menulis dengan kunci 3D. Tulislah yang D-ialami sendiri, yang D-isukai, yang D-ikuasai

Selain yang sudah disebutkan sebelumnya. Rajin baca, nonton TV/film, dengar radio untuk memperkaya wawasan sebagai tabungan ide kalau mau menulis, terutama genre fiksi

 2. PDLS = Peka Dengan Lingkungan Sekitar (KEPO)

3. TBTO = Terus Belajar atau Baca (dari) Tulisan Orang

4. TLMM = Terus Latihan Menulis di Media (Medsos)

5. TILM = Terus Ikut Lomba Menulis, sebagai uji coba sejauh mana kualitas tulisan kita.

**

Berikutnya sesi tanya jawab, Siti Khodijah, guru MI di Jakarta Selatan, bertanya, "Butuh ilmu dari pengalaman Bapak dan trik2 sukses supaya bisa tulisan kita bagus dan orang mau baca.. dan kalau bisa ditunggu2 oleh pemirsa atau pembaca?"

Nur menjawab dengan menulis, "Ya itu tadi. Selain materi atau isi tulisannya bagus, ya banyak belajar dengan membaca tulisan orang lain yanh sudah sering menulis. Kalau kriteria bagus dan mau dibaca orang, relatif sih Bu. Tapi di media sosial, media online, blog, Kompasiana.dll, kan ada kode berspa jumlah viewer atau pembacanya, yang komen, yang share. Itu sudah indikator tulisan tersebut bagus, minimal banyak dibaca.Terus latihan menulis. Minta pendapat keluarga, suami, anak, 'Nih tulisan saya sudah bagus gak?' Kalau belum disempurnakan lagi..lagi..dan seterusnya.

Penanya berikut,  Budi Idris, S. Pd. dari Kotapinang - Sumatera Utara: 

1. Bagaimana tipsnya agar artikel yang tulis dimuat di media cetak?

2. Dalam menulis artikel apakah ada ketentuan persentase perbandingan isi kutipan dengan tulisan ide asli kita?

Nur menjawab dengan menulis, "Setiap media punya kriteria dan standar tulisan yang bisa dimuat. Rubrik atau tulisan jenis apa yang ada di media tersebut.

Itu harus dipelajari dan disesuaikan dengan tulisan yang kita mau kirim.

Misalnya koran Kompas, harus sesuai misi koran tersebut.

1. Kalau di Sumut misalnya, ada media cetak koran dan ada rubrik pendidikan, pak Budi mungkin menulis pengalaman masalah pendidikan di daerah Bapak terkait masa pandemi, yang dikuasai, sukai, alami sendiri.

2. Ya sebaiknya lebih banyak pendapat Bspak sendiri. Adapun kutipan pakar, sebagai pendukung dan penguat pendapat Bapak (60 pendapwt sendiri - 40 teori pakar)

Jangan lupa ikut data, atau ada hasil survei dan lain-lain,  terkait materi tulisan malah lebih bagus lagi. Selamat mencoba pak Budi, semogi berhasil!"

Penanya selanjutnya, Didi dari Serang, " Ada wartawan yang hanya mengejar keuntungan finansial kemudian memberitakan sesuatu tidak sesuai faktanya bahkan menambah-nambahi dengan bumbu-bumbu tertentu di dalam tulisannya. Sebagai objek pemberitaan yang diberitakan tidak benar,. Apakah kita bisa menuntut balik wartawan tersebut?

Bagaimana pendapat Bapak dengan wartawan yang abal-abal mendatangi instansi-instansi hanya untuk mengumpulkan pundi-pundi uang dengan ancaman akan memberitakan kekurangan yang ada di instansi tersebut?

Maaf pertanyaannya agak menyimpang dari teknik menulis!"

Nur menulis, "1. Berita tidak sesuai fakta, adalah merugikan orang lain dan tentu wartawan serta koran yang memuuat. Makanya ada koridor dan kode etik dalam menulis.berita

Harus cross cek, konfirmasi ke pihak yang bertanggung jawab dengan berita yang mau ditulis. Jadi berita akan berimbang.

Menuntut balik media beritakan tdk sesuai fakta, ya ada salurannya Pak. Bisa...Namun sesuai kode etik dan UU Pers, ada namanya hak jawab. Pihak yg dirugikan/diberitakan harus diberi ruang yang sama untuk menjelaskan atau mengklarifikasi

Jika medianya bandel, ada Dewan Pers. Media yang bersangkutan disidang di sana. Kalau melanggar ada sanksi.Jika yg diberitakan tetap belum puas, boleh ke ranah hukum. Lapor ke polisi. Tapi masyarakat lebih suka ke polisi daripada ke Dewan Pers. Wartawan abal-abal  ini nih yang merusak citra wartawan! Kalau dia ngancam, minta duit, itu sudah pemerasan. Sudah masuk urusan  pidana Pak.

Kalau perlu jebak saja Pak. Siapkan duitnya, panggil oknum wartawan itu datang, siapkan polisi untuk menangkap, biar tertangkap tangan, ada barang bukti!

Penanya berikut datang Bu Min Hermina, dari SMPN1 Cikampek Karawang, "Bagaimana kiatnya agar tulisan kita bisa tembus media massa? Apakah ada pakem tertentu?"

Nur menulus, "Seperti jawaban saya sebelumnya (ke Pak Budi), masing-masing  media ada aturan baku yang spesifik. Tapi pada umumnya, media sama melihat tulisan yang dikirim ke redaksi dari sisi : tema, isi, aktualitas, cara penyampaian, kepakaran dari penulisnya. Ambil contoh koran Kompas.Tiap hari ada rubrik tetap, sesuai bidang: hukum, politik, keuangan, Kesra, olah raga dll. Yang nulis juga dilihat latar belakang penulisnya. Menulis pendidikan, ya biasanya pakar pendidik, dosen, Prof., rektor dll.. Begitu bidang ilmu lainnya. Aktualitas beritanya juga dilihat. Misalnya jelang Pilpres, Pilkada, tentu gak cocok kalau kita nulis soal pemilihan RT, Kades dll. Kecuali jika studi komparasi. Misalnya, kita mengibaratkan Pilkada seperti pemilihan RT atau Kades, buktikan perbedaan dan persamaannya

Karena kita di grup guru, saran saya lebih pas jika kita menulis masalah pendidikan. Cari juga media yang menyiapkan rubrik pendidikan. Kan keren kalau misalnya judul artikelnya : "Kecenderungan Minat Siswa Belajar Daring di Karawang di Masa Covid-19" oleh Min Hermina, Guru SMPN 1 Cikampek. Wow...namanya sekolahnya viral, penulisnya juga dicari. Siapa sih dia? Ciiieeeh.."

Penanya selanjutnya, Ahsanuddin dari MTsN 2 Jombang, "Melihat background pendidikan Bang Nur dari fakultas syar’iah hukum sangat paham dengan hukum, terutama hukum Islam. Dalam agama tidak dianjurkan menyebarkan gosip walau itu fakta adanya. Apa hukumnya bekerja sebagai wartawan?"

Nur menjawab, "Iya betul itu Pak Ahsanuddin, kalau gak salah itu namanya GHIBAH, gosip. Wartawan adalah profesi. Dari profesi inilah saya hidup dan menghidup anak istri. Kalau saya ditanya apa hukumnya bekerja sebagai wartawan, ya tergantung bagaimana yang bersangkutan menjalaninya. Wah kalau Ustadz, tentu lebih paham lagi hukumnya hehe..Bagi saya, bekerja sebagai wartawan adalah bagian dari ibadah. Makanya, saya hindari menulis gosip. Sekali sewaktu, saya dapat tugas dari kantor menulis "gosip" tentang cinta segitiga Latief (mantan Menaker, bos Sarinah) Desi Ratnasari, dan pemuda Makassar, Onasis putera Ande Latief (Tiga Utama, biro haji). Saya kumpulkan informasi yang banyak tentang yang mau ditulis.

Waktu itu repotnya belum ada Mbah Google. Infotainment TV masih terbatas. Pak Latief dan Desi Ratnasari juga "ngumpet" dari incaran media. Saya ingat, ayah pria "pacar" Desi adalah Onasis, ayahnya Pak Ande Latief (Tiga Utama) sering ketemu kalau.ada.acara manasik haji. Kebetulan lagi.sekampung. Saya pura-pura ikut manasik. Pas ketemu pak Ande, saya tanya gosip putranya dengan Si Pelantun "Tenda Biru" itu. Dia menolak jawab. Off the record, katanya.

Saya pakai  bahasa Bugis dengan beliau, eh dia mau cerita. Rupanya pendekatan kedaerahan hahaha...

Pulang  kantor saya tulis, esoknya naik beritanya. Pak Ande marah, saya datangi kantor beliau minta maaf, berusaha familiar. Waktu dia bilang, "Kemarin saya bilang off the record, koq tetap dimuat?". Betul Pak Ande, tapi itu kan dalam bahasa Inggris, waktu saya tanya bapak kan bahasa Bugis, akhirnya beliau tertawa.

Semakin seru saja dialog dengan Wartawan Bangkotan ini. Nurhamudin dari SMPN 1 Purwantoro Wonogiri, bertanya, "Kunci menulis D3, khususnya Di-alami. Kalau saya termasuk orang yang biasa, gak ada lebihnya dibanding yang lain.. Tentu yang Di-alami adalah biasa2 saja. Bagaimana mau jadi penulis hebat, kalo saya biasa-biasa saja?"

Nur menjawab," Yang namanya perisitiwa yang dialami sendiri, pengalaman pribadi (true story kata orang bule), kan tidak sama dengan yang dialami orang lain. Pasti beda kan? Pak Nurhamuddin bisa aja. Memang orang yang punya nama awalan Nur, suka merendah. Termasuk saya, merendah karena gak tinggi hehe. Perbedaan itulah yang kalau kita tulis, tentu menarik bagi orang lain. Contohnya 2 buku saya (baru 2 loh pak..banyak lebih banyak lagi). Itu semua kan pengalaman pribadi saya waktu meliput di lapangan. Pengalaman recehan semua. Tidak seperti Mochtar Lubis yang membongkar korupsi di Pertamina era Ibnu Sutowo zaman Soeharto. Lalu korannya dibredel. Wartawan lain, tentu beda pengalamannya dengan saya. Mochtar Lubis mungkin tak tembus ke Andi Latief jika berbahasa Indonesia, saya Alhamdulilah karena bahasa Bugis hahahaha..."

Penanya  seterusnya, Dari Suyati, Purbalingga, Jateng, menanyakan "

1. Saya selalu kagum pada wartawan karena jeli terhadap keadaan sekitar sehingga bisa menjadi berita. Bagaimana kita bisa memiliki kejelian itu Pak?

2. Tentang kunci 3D dalam penulisan artikel, misalnya. Karena  sifatnya ilmiah. Bagaimana bahasa yang digunakan jika menceritakan yang dialami sendiri agar tetap ilmiah tapi enak dibaca juga?"

Nur menulis sebagai berikut:

1. Kepekaan terhadap lingkungan. Setiap informasi, dicek ulang, tak ditelan mentah-mentah. Itu sebabnya ada rumus baku : 5 W 1 H + S.

Salah satunya why, what, harus dijawab dulu setiap ada informasi. Jika tidak ada kesesuaian antara info dan fakta lapangan, nah itu menarik. Lalu sebelum ditulis, ada tambahan S tadi, security = keamanan. Baik penulisnya, keluarganya, kantornya, medianya, jika berita tersebut diturunkan tanpa crosscek

:2. Itulah bedanya dengan tulisan di media memakai bahasa populer, atau bahasa sehari-hari

Contoh tulisan Dahlan Iskan bos Jawa Pos. Persoalan kesehatan, kedokteran, dia bisa tulis dengan bahasa yang bisa dimengerti pembaca awan saat dia mengalami cangkok hati. Alm. Bondan Winarno (Maknyous) dari Tempo. Sebelum rajin menulis kuliner, beliau penulis ekonomi dan manajemen, bahasanya sederhana, tak pakai istilah cas cis cus."

Masih terus peserta ingin bertanya, Syamsuddin dari Bogor, bertanya "Kiranya berkenan berbagi tips menjaga konsistensi dalam dalam menulis!" 

Nur menulis, "Harus dipaksa pak! Omjay, guru, itu beliau menulis tiap hari. Pak Thamrin Dahlan, yang sudah senior bilang, the old writers never gate tired (maaf kalau salah nulis, bukan kunci Inggris sih hehe..). Beliau terus menulis. Ada teman penulis novel, dia paksakan dirinya menulis 5 layar komputer setiap hari.

 Jadi kalau terbiasa, sehari tdk nulis rasanya ada yg kurang. Terus lah menulis pak Syam. Jangan takut salah, typo atau salah ketik, biarin aja pak. Nanti diedit belakangan!"

Penanya yang namanya terkenal di zaman Orba, Sudomo dari SMP Negeri 3 Lingsar Lombok Barat, bertanya " Bagaimana langkah-langkah yang bisa kita lakukan selaku pendidik untuk mengenalkan dunia jurnalisme di kalangan siswa terutama siswa SMP?"

Nur menulis, "Mungkin diberikan tugas menulis berita di lingkungan sekitarnya dengan tetap menggunakan rumus 5 W 1 H.

Misalnya bagaimana penanganan sampah di tempat tinggalnya, kesibukan tenaga medis dan upaya warga memutus rantai penyebaran Covid-19. Atau, ambil satu format berita di media, lalu siswa mengakuti format itu disesuaikan dengan lingkungan dan fakta lapangan. Wawancara dengan pihak yang terkait. Itu sudah melatih siswa pak. Kalau tidak jauh Lombok, saya siap ngasih materi pengenalan jurnalistik untuk siswa. Waktu Neng Corona belum datang, beberapa kali saya diminta SMK utk itu. Saya kira begitu pak.

*

Sebagai PENUTUP, menulis itu harus dimulai. Namanya juga menulis. Ya TULIS sekarang juga. 

Jangan biarkan mengendap di kepala. Kepala sudah penuh oleh beban pikiran dan beban hidup.

Anggun C Sasmi, penyanyi rock yang sudah go internasional. Ditanya wartawan, apa kunci sukses dia? "Kalau mau sukses, mandi aja dulu. Karena sukses, peluang dan rezeki, kita tidak tahu kapan datangnya"...***


Aam Sang Moderator berkomentar, "Luar biasa materinya. Sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 22.27 WIB. Pak Nur telah memecahkan rekord, narasumber terlama dan materi terpanjang di kelas belajar menulis gelombang 16." ***

Memang betul dari paparan dan sambungan kembali paparan atas pancingan pertanyaan dari sahabat di seluruh pelosok tanah air, rasanya tak rela kalau dipotong, yang itu baik, yang ini penting. Akhirnya resume pun sampai beberapa kali tertunda. Dan akhirnya dipaksakan harus tuntas! 

Semoga semua bermanfaat!***

(Inta Sahrudin, Lebak, Banten)







Komentar

  1. Luar biasa, ulasannya lengkap. Hanya saran saya, sebaiknya jika tulisan panjang dan terdiri beberapa topik yang dibahas, diberi sub judul dan paragraf yang tidak terlalu panjang.

    Semangat ya...teruslah menulis...salam

    BalasHapus
  2. Lengkap nian resumenya, mantap Pak..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

GREGET MENULIS BU SALAMAH

GURU PLUS DENGAN TIPS IDOLA